Sat. Dec 7th, 2024

Plantarum Online

Tahu, Tanggap, Tandang

Nafas Akhir Ideologi Ormawa Kampus

3 min read

Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain.” – Soe Hok Gie.

Ilustrator : M. ‘Ubaidillah I.

Halo-halo. Telah mati adiksi dan idealisme mahasiswa dalam ruang-ruang belajar miniatur negara. Opini ini saya buka dengan kutipan dari salah satu tokoh mahasiswa, Gie. Dalam kutipan itu, kalimat yang paling menyita bagi saya adalah “Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain.” Masa pandemi benar-benar mengikis budaya hiruk pikuk kampus. Meskipun tak pantas untuk mengkambinghitamkan kondisi ini untuk dijadikan sebagai alasan hilangnya ketertarikan mahasiswa dalam menyelami idealisme organisasinya. Setidaknya itu yang saya rasakan ketika membandingkan kondisi sekarang dengan cerita-cerita budaya berorganisasi pada zaman senior. Mahasiswa yang membawa kepentingan organisasinya sendiri dalam ruang-ruang konsolidasi gerakan makin berasa di periode pasca pandemi. Tak hanya itu, pandemi COVID-19 (red: Coronavirus Disease 2019) juga menyita idealisme mahasiswa dalam berorganisasi. Menjadikan organisasi mahasiswa internal kampus tak ubahnya sebuah ekstrakurikuler semasa sekolah dengan satu-satunya organisasi superior serupa OSIS (red : Organisasi Siswa Intra Sekolah)

Oke, saya mahasiswa semester 5 di sebuah perguruan tinggi dimana tulisan ini diterbitkan untuk pertama kalinya di lembaga pers  mahasiswa yang dinaungi universitas tersebut. Gilanya, menjadi mahasiswa semester 5 yang aktif dibeberapa organisasi adalah semester capek-capeknya. Entah hanya perasaan saya yang berlebihan tapi itulah yang terasa. 2,5 tahun ini saya habiskan untuk mencari suasana belajar  pemerintahan di dalam kampus yang ‘katanya’ sebuah miniatur negara ini. Namun pada perjalanan waktu 5 semester ini, bukannya itu yang saya temukan. Melainkan dikte budaya mengenai Event Organizer berbungkus melatih soft skill hingga muncul slogan “si paling sie”. Dalam pergaulan mahasiswa. Mungkin memang sesuai dengan muatan beberapa organisasi yang pada dasarnya memang berada dalam muatan pengadaan acara. Akan tetapi justru sangat disayangkan ketika muatan sebuah organisasi berada dalam lingkup politik menjelma menjadi badan sebuah event mahasiswa.

Dalam 2,5 tahun ini pula saya menemukan mahasiswa yang hanya tunduk pada tuntutan realisasi-realisasi proker (red : program kerja) organisasi. Seolah olah hati mereka hanya tergerak untuk menyelesaikan proker ‘seng penting mari’ (red : yang penting selesai) namun tak pernah mencari esensi pembelajaran apa yang akan mereka dapatkan dari merealisasikan proker mereka. Tidak semua memang, namun pemikiran semacam ini makin hari kian menjamur. Pemikiran ini menjatuhkan mereka kedalam jurang perbudakan. Budak Proker, saya menyebutnya. Menjadikan hiruk pikuk kampus sebagai ajang pamer eksistensi diri serta pemenuhan CV pengalaman organisasi. Buktinya Beberapa waktu yang lalu saya mengajak nongkrong seorang kawan dia selalu menolak karena alasan rapat sebuah kepanitiaan. Tidak salah, namun ketika keterlibatannya dalam sebuah kepanitiaan hanya untuk sertifikat panitia, kesibukaannya akan habis dalam sebuah  kekosongan. Makin kemari makin banyak mahasiswa yang  tanpa pikir panjang mendaftarkan diri ke berbagai jenis kegiatan dengan kedok “menambah pengalaman.” Menjadikan istirahat seolah olah hal yang hanya ditujukan untuk mereka yang lemah dan tidak mampu bersaing. Kemudian menyisihkan mereka yang masih kekeh terhadap ideologi awalnya.

Mahasiswa yang pernah menjadi bagian dari sejarah dan dikenal sebagai insan terdepan dalam melayangkan kritik-kritik baik dalam lingkup kampus maupun pemerintahan, kini hilang dan tergantikan menjadi mahasiswa budak proker. Entah mungkin sudah masanya untuk lenyap dari jalur-jalur skeptis dalam struktur kritik, atau mungkin sudah saatnya kembali duduk dikelas dan mendengar celotehan pengapnya ruang kelas yang bahkan esok hari belum tentu ingat. Tapi yang pasti, makin lemahnya ideologi mereka dalam berorganisasi, makin terlihat pula bibit-bibit perpecahan dalam internal kampus. Menjadikan fenomena ini sebagai titik kelamahan serta memudahkan struktur kampus dan pemerintahan untuk masuk lalu mengadu domba. Maka tak heran jika kita sering menemukan perselisihan antar organisasi baik dalam maupun luar kampus.

Penulis : M. ‘Ubaidillah I.

Editor : Diana A. P.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *