Clue-nya Mencintai : Orang Pertamanya Aku, Orang Keduanya Kamu, Orang Ketiganya Pemerintah
4 min readDua jam yang lalu, dengungan suara takbir masih terdengar melalui pancaran sonar suara radio lawas produksi tahun 80’an yang ditaruh diatas meja berisikan tumpukan biji kopi. Orang-orang yang bersandangkan jubah, peci dan gamis hilir mudik melewati jalanan depan warkop yang dibangun di pelataran pasar Klojen, salah satu pasar di kota Lumajang. Maklum, suasana semacam ini kerap kali dirasakan ketika masih berada disuasana hari raya. Persis di bulan Syawal ini, ketika orang rumah masih disibukkan dengan sanak saudara yang berkunjung untuk silaturahmi di rumah. Saya memutuskan untuk keluar, menjejaki kota kelahiran yang sudah mulai terasa asing. Mencoba mencari tempat yang nyaman untuk menyelesaikan film “Surat Dari Praha”. Film yang sebenarnya sudah pernah ditonton namun masih menarik untuk ditonton untuk kedua kalinya.
Untuk desclaimer tulisan ini bukanlah resensi film melainkan sebuah refleksi yang bermediakan fiilm yang diproduksi oleh Visinema Pictures tersebut. Dimana film ini diarsiteki oleh Angga Dwimas Sasongko pada tahun 2016. Bagi saya, masih menarik untuk ditonton berulang setelah hampir lewat 7 tahun dari ia terbit. Film ini menjadi salah satu film Indonesia yang mampu menceritakan pergulatan politik tanah air yang menyentuh hati penonton melalu framing dramatikal romantisnya.
Singkatnya, Surat Dari Praha menceritakan seorang perempuan bernama Larasati dalam menjalankan wasiat ibunya, Sulastri. Laras yang meminta warisan berupa rumah milik ibunya, mendapatkan tugas berupa mengantarkan sebuah kotak yang isinya adalah surat-surat untuk Jaya (Tio Pakusadewo) di Praha.
Hingga pada proses pemenuhan wasiat tersebut Laras menyadari bahwa Jaya adalah mantan tunangan ibunya yang tidak bisa menikahi ibunya karena tidak bisa kembali ke Indonesia. Hal itu karena adanya perubahan situasi politik di Indonesia yang membuat Jaya menetap selamanya di Praha. Jaya bercerita tentang bagaimana ia menjadi salah satu mahasiswa ikatan dinas di Praha yang menentang pemerintahaan Orde Baru, keputusannya ini membuat Jaya kehilangan kewarganegaraan.
Sebuah kalimat monumental dari tokoh bernama jaya adalah tentang bagaimana ia menggambarkan niat cinta kasihnya terhadap perempuan, harus harus gagal lantaran efek samping pemerintahan orde baru.
“Sebelum berangkat ke Praha, saya berjanji pada ibumu dua hal. Bahwa saya akan pulang secepatnya untuk menikahinya. Bahwa saya akan mencintainya seumur hidup saya. Tetapi takdir hanya mengizinkan saya untuk menepati janji yang kedua,” ucap Jaya kepada Larasati.
Idealisme dan kesetiaan seorang jaya begitu terlihat dan bermekaran pada dialog-dialog yang dilantunkan tokoh ini. Dimana pada akhirnya ia tidak pernah menyesal atas apa yang pernah ia perbuat, dan memilih untuk hidup melajang bersama anjing peliharaannya di Praha.
“Tidak ada tempat untuk penyesalan, saya tidak pernah menyesal menolak Soeharto, jika pun ada hal yang saya sesali, adalah saya telah mengecewakan ibumu,” kata Jaya.
Ada banyak hal yang menarik perhatian saya dan sedikit membuat kepala saya pening akhir akhir ini. Salah satunya adalah perkara euforia masa dalam film diatas. Dimana pemikiran terkait euforia masa ini, sudah pernah saya tulis beberapa waktu yang lalu dan belum selesai. Butuh pikiran dan perasaan yang benar-benar mendukung untuk segera menyelesaikannya. Singkatnya, Euforia masa memiliki dikotomi yang agak bias dengan kotak yang berisikan sekumpulan surat yang pernah dikirimkan Jaya kepada sulastri dalam penggalan cerita “Surat Dari Praha.” tersebut.
Surat-surat itu kembali ke tangan Jaya dengan kondisi yang masih utuh tanpa kehilangan substansi awalnya. Berbeda dengan euforia masa, sebuah hal yang misterius ini hadir dengan seketika dihadapan mata. Kemudian memanggil kembali ingatan ingatan yang pernah dirajut dahulu. Namun uniknya, hal yang misterius tadi hadir sebagai sosok yang sama sekali berbeda dengan sosok yang dulu. Katakanlah kita pernah jatuh cinta untuk pertama kali semasa umur belasan tahun. Dimana pada waktu itu, kita menganggapnya sebagai perasaan yang berbunga-bunganya. Namun ketika sudah berada pada masa sekarang, dengan membaca kembali teks-teks yang pernah kita kirimkan kepada kekasih pertama kita, perasaan itu hadir sebagai sosok yang sangat berbeda. Perasaan ini semacam geli, malu-malu sendiri, atau bahkan bisa saja jatuh cinta dan berbunga-bunga kembali dengan fragmen yang lebih oriental dan materialistik. Hal-hal semacam ini yang kemudian oleh khalayak umum disebut sebagai kenangan.
Seperti halnya ketika ratusan warga Indonesia terpaksa hidup “mengembara” dari satu negara ke negara lain setelah paspor mereka dicabut menyusul Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ia harus hidup dibawah apa yang saya sebut sebagai euforia masa diatas. Melalui banyak media pemantik tentunya. Salah satu contohnya adalah surat-surat jaya yang bernyawakan narasi-narasi cintanya terhadap Sulastri. Yang kemudian hadir kembali dan menjelma sebagai sebuah konflik salah paham antara Jaya dan Larasati pada tahun-tahun setelah ia jatuh cinta.
Dalam sejarah negara kita, tidak ada angka yang jelas berapa jumlah warga negara Indonesia yang tidak bisa kembali. Namun pada awal 1960an, ribuan orang dikirim ke luar negeri oleh Presiden Soekarno saat itu untuk melanjutkan pendidikan, sebagai utusan Indonesia dalam organisasi ataupun sebagai diplomat, menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI, Asvi Warman Adam.
Mereka, adalah para eksil 1965 yang di bui tanpa jeruji. Yang bukan tidak mungkin dari ratusan orang tersebut, beberapa diantaranya harus mengalami patah hati, gagal nikah, ataupun putus dengan pacarnya, kemudian ditinggal tunangan dengan orang lain lantaran kehilangan kewarganegaraan. Kemudian mengalami euforia masa atau jika menurut pemuda-pemudi jaman sekarang ‘Gagal move on’ sebagai buntut dari eksistensi benda-benda kecil disekitarnya semacam surat.
Penulis : M. ‘Ubaidillah I.
Editor : Shela Rosania