Sat. Dec 7th, 2024

Plantarum Online

Tahu, Tanggap, Tandang

Kejanggalan Putusan Vonis Bersalah Dalam Kasus Kriminalisasi Tiga Petani Pakel

3 min read

Konflik agraria hingga kini masih menjadi problemik yang tak kunjung menemukan solusi. Konflik agraria disebut sebagai konflik yang sering terjadi akibat pertentangan klaim berkepanjangan mengenai ruang hidup mulai dari tanah, sumber daya alam dan wilayah. Konflik tersebut terjadi diberbagai penjuru Indonesia, salah satunya di ujung timur Pulau Jawa. Banyuwangi merupakan kabupaten terluas di Provinsi Jawa Timur dengan luas wilayah 5.782 km2. Kabupaten tersebut membawahi beberpa desa, yang dimana salah satunya yaitu Desa Pakel. Desa Pakel terletak di Kecamatan Licin, yang secara geografis menghubungan kawasan sekitar Gunung Ijen dengan sekitar wilayah Kabat, Rogojampi, dan Kota Banyuwangi.


Sejarah mencatat ketimpangan panjang yang terjadi di Desa Pakel terkait konflik agraria yang masih terus bergulir hingga saat ini. Perjuangan untuk mempertahankan haknya yang diregut oleh PT Bumi Sari sejak tahun 1925 belum menemukan titik harapan keberpihakan kepada warga. Ketidakadilan tersebut semakin terlihat pada putusan siding hari Kamis kemarin kepada warga pakel. Kamis 26 Oktober 2023, majelis hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi menjatuhkan vonis selama 5 tahun 6 bulan kepada tiga warga pakel dengan tuduhan menyebarkan berita bohong. Hal tersebut diketahui dari “Rilis Media Koalisi Bebaskan Trio Pakel” dimana media tersebut menuliskan bahwa “majelis hakim yang bertugas menjatuhkan vonis tidak manusiawi kepada tiga warga dari Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi. Vonis sejumlah 5 tahun 6 bulan dengan tuduhan menyebarkan berita bohong sehingga mengakibatkan keonaran, di tengah bukti yang lemah dan kondisi desa yang tengah dilanda konflik agraria adalah keputusan gegabah”


Dalam persidangan yang digelar kasus penangkapan dan vonis warga pakel tersebut, erat kaitannya dengan perjuangan warga untuk mengusahakan haknya. Seperti yang dikutip dari press release “Karena dalam fakta persidangan, kami menemukan bahwa kasus ini memiliki hubungan yang erat dengan perjuangan warga dalam mengusahakan hak atas tanah”. Ketimpangan tersebut dapat dilihat dari luas lahan Desa Pakel yakni 1.309,7 hektar, warga desa sejumlah 2.760 jiwa hanya berhak mengelola lahan kurang lebih seluas 321,6 hektar.
Laporan yang disampaikan terkait berita bohong tersebut lantas menimbulkan tanda tanya ditengah penyelesaian konflik agrarian yang terjadi di Desa Pakel. “Kami memandang bahwa laporan tersebut bertendensi menghambat upaya penyelesaian konflik agraria di Desa Pakel. Dan terbukti dengan adanya kasus ini, upaya penyelesaian kasus ini menjadi terhambat” Dilansir dari press release saat persidangan Kamis kemarin. Ditangkapnya tiga warga pakel akibat laporan tindak berita bohong tersebut merupakan sebagai kasus kriminalisasi dimana upaya penangkapan sewenang-wenang kepada tiga petani Desa Pakel yang dilakukan secara sembarangan dengan tidak menunjukkan surat tugas serta tidak memberikan kepada ketiga petani tersebut surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas, ditangkap saat praperadilan sedang berjalan, penetapan tersangka yang tidak sah berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Persidangan terkait penyebaran berita bohong oleh tiga warga pakel tersbeut sudah digelar hingga pada hari Senin 24 Juli 2023 merupakan siding ke-9 yang digelar secara daring.


Kejanggalan lain yang ditemukan dalam siding putusan warga pakel yaitu pembatasan pengunjung sidang yang dilakukan oleh pengadilan negeri banyuagi terhadap seluruh warga yang ingin mengikuti jalannya persidangan hal ini bertengtangan dengan Pasal 153 ayat (3) KUHAP dengan bunyi “Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau Terdakwanya anak-anak”


Bentuk kriminalisasi nyata yang dijatuhkan oleh kepada tiga warga pakel menambah catatan hitam Pengadilan Negeri Banyuwangi. Dimana sebelumnya Pengadilan Negeri Banyuwangi melakukan ketidakadilan serupa pada tiga warga Alasbuluh, Wongsorejo yang protes terkait dampak pertambangan yang mengakibatkan rusaknya jalan kampung dan menimbulkan debu berlebihan. Negara hukum dengan ketumpulan hukum bagi warga negaranya sendiri menunjukkan bahawa negara telah gagal dalam mengimplementasikan HAM sebagai hak dasar yang dimiliki oleh manusia.

Penulis : Shela Rosania
Editor : M. Ubaiillah I.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *