Sun. Apr 28th, 2024

Plantarum Online

Tahu, Tanggap, Tandang

Separuh Retak

5 min read

Bising lagu berjudul “Sial” yang dilantunkan oleh artis bernama Mahalini menggema hingga ke ujung ruang kos yang ku tempati. Suaranya terdengar lebih nyaring karena tersambung dengan bluetooth speaker milik penghuni sebelah kamarku ditambah suara khas yang memaksa untuk mengikuti nada tinggi pada bagian akhir bait lagu. Suara pemilik kamar masih terdengar hingga lagu selanjutnya meski yang terdengar bukanlah hal yang dapat dinikmati oleh semua penghuni kamar.

“Mbak, tolong volume lagunya diturunkan, mengganggu yang istirahat.” Tulis salah seorang penghuni kamar melalui aplikasi pesan. Perlahan volume lagu tersebut mengecil, suara penghuni kamar yang berusaha menirukan pun mendadak hilang. Namun, remang-remang terdengar pekikan lirih dari arah kamarnya. Mungkin pemilik kamar tengah tertawa atas ulahnya sendiri. Suasana berubah menjadi sunyi kecuali bunyi sepoi angin yang meniup pohon mangga di depan kamarku. Berisik suara gesekan daun perlahan membius malam yang semakin larut. Malam yang terasa lebih kosong dari biasanya, terasa mencekik tanpa alasan pasti. Suara gesekan daun dan getaran dari baling-baling kipas angin di ujung lorong menggema bersahutan. Suara-suara itu seakan menyatu menjadi melodi harmoni yang membaur dengan suasana malam. Melodi itu bahkan tidak berpengaruh apapun pada diriku karena bisingnya tidak mampu mengalahkan suara-suara yang berputar di kepalaku. Mereka seakan tak pernah masuk ke dalam pendengaranku, mereka terhalang oleh sesuatu yang tak sengaja ku buat bahkan tanpa ku sadari. Pendengaran seakan tuli dalam sekejap.

Salahkah jika terlalu memikirkan perkataan orang? Membawa penuh apa yang mereka ucapkan untuk dikonsumsi secara pribadi. Pertanyaan itu seakan berputar layaknya pita mobius, salah namun enggan untuk berhenti secara sadar. Salah seorang temanku pernah mencoba menanamkan ideologinya padaku, mempengaruhiku agar kelak tidak tersandung oleh batu yang sama dengannya. Dia pernah berkata, “Sejatinya manusia diciptakan untuk bisa mengingat banyak hal. Namun, mereka lupa untuk menyaringnya lagi sehingga semua masuk dan perlahan-lahan menghancurkan dari dalam.”. Dia bermaksud menyampaikan bahwa tak semua ucapan orang harus ku telan mentah-mentah. Nasihatnya seakan membaca diriku yang mudah menelan perkataan orang secara bulat-bulat tanpa memikirkan akibat yang akan ku tanggung kemudian hari. Aku hanya perlu mengonsumsi beberapa bagian yang berguna dan membuang bagian yang tidak menguntungkan. Namun sayang sekali, dia lupa bahwa aku berbeda dengan dirinya. Kami berbeda bahkan dari banyak aspek. Pertahananku tak sekuat dirinya, terdapat celah yang menganga lebar meski telah ku tutupi sebaik mungkin. Celah itu menjadi sebuah jembatan tak kasat mata, menghubungkan antara kesadaran dan ketiadaan. Seakan menjadi lubang kelinci bagi perasaan lain untuk masuk ke dalam relung paling dalam. Tanpa ada penjaga yang menghadang, semua emosi masuk. Bertamu tanpa permisi namun menyebabkan gejolak pahit. Mengikis tanpa adanya rasa bersalah seakan duniaku adalah taman bermain bagi mereka. Bodoh, bukan mereka yang mengendalikan perasaanku. Seharusnya itu aku!

Mulut, senjata semu yang tidak disadari banyak orang disekitarku. Sesuatu yang transparan, tidak berbentuk, tidak berbau namun mampu menyebabkan puluhan luka terbentuk dengan untaikan kata yang keluar dari sana. Ayah, ibu, bahkan kakak adalah sosok pertama yang mengajariku untuk berperilaku pertama kali. Ibu mengajariku untuk menjaga perkataanku, ayah mengajariku untuk berterus terang dengan pikiranku, sedangkan kakak layaknya sosok gabungan antara ayah dan ibu. Aku dan kakakku, kami berdua dididik oleh orang yang sama, diperlakukan dengan sama, disayangi dengan porsi yang sama oleh ayah maupun ibu. Mereka berdua adalah sosok yang hebat dalam membesarkan aku dan kakaku. Namun, sebuah pohon tak selalu menghasilkan buah dengan ciri yang sama. Begitu pula aku dengan kakakku. Dia tumbuh menjadi sosok yang mampu diandalkan oleh kedua orang tuaku, sosok panutan yang berteduh di atap yang sama denganku. Tapi kenapa, kenapa kami sangat berbeda? Dia kuat sementara aku, seorang gadis kecil cengeng yang menatap punggungnya dari arah belakang. Perasaan bersalah menyergap secara berkala, ia bercokol sangat dalam dan sulit ku keluarkan. Sosok panutan yang merangkap sebagai patokan keberhasilan yang terus berlari dan semakin menjauh. Perasaan iri, perasaan rendahan ini tidak pantas tinggal disela-sela hatiku. Tapi kenapa rasanya susah sekali untuk menyingkirkannya. Mengejarnya merupakan pilihanku, tapi disaat yang bersamaan pula aku terluka saat mengejarnya. Aku ingin seperti dia yang dapat diandalkan. Apakah aku salah mengejarnya?

Seseorang sedang terluka, darahnya tidak keluar, kulitnya tidak membiru, pernafasannya teratur, tangan serta kaki yang berfungsi normal. Gadis kecil itu berteriak di antara kerumunan orang tapi tak ada yang menyadarinya. Dia berkata membutuhkan pengobatan namun orang-orang mengabaikannya dan meninggalkan luka baru yang harus ia balut sendiri. Waktu berlalu dengan lambat, gadis itu tak kunjung menemukan orang baik yang sukarela menggandeng tangannya. Suatu ketika, seseorang didorong oleh kerumunan tersebut dan menjadi teman gadis tersebut. Mereka berdua berpegangan pada ikatan semu, tidak terlalu erat, tidak kokoh, hanya berlandaskan kesepian. Seakan belum puas, serangan non verbal mereka tampakkan, melirik dengan tajam apapun yang ada pada tubuh gadis itu. Bisikan nan halus bercampur racun yang menyebar mempengaruhi satu-persatu otak di sana. Mereka bersatu membentuk benteng kuat dan kokoh yang takkan bisa gadis itu capai. Mereka meninggalkan gadis itu dan temannya di bawah. Gadis itu kesakitan meliat kerumunan itu berusaha sangat keras untuk menjauhinya. Sang gadis yang tak tahan mencoba bertanya apa kesalahan yang telah ia perbuat. Namun, tak pernah ada jawaban yang keluar untuk pertanyaannya seakan membencinya tidak perlu memiliki alasan pasti. Apakah kesusahannya merupakan kesenangan bagi orang lain. Ia meyakinkan bahwa genggaman tangannya ini takkan melepaskan tangan yang lain. Akan tetapi, berpegangan dengan orang lain membuat gadis itu dibayangi ketakutan untuk ditinggalkan kembali. Seharusnya ia membalas mereka, mengadukan mereka pada orang memiliki hak menghukum mereka.
“Aku diganggu oleh mereka, Pak.” Terangnya pada seseorang yang memiliki wewenang lebih dari dirinya.
“Iya-iya. Nanti saya tangani sehingga mereka takkan berperilaku semacam ini lagi.”

Bohong, orang berwenang itu berjanji dusta. Mereka tidak berubah, mereka jahat seakan haus oleh jeritan tangis gadis tersebut. Mereka menganggap hal tersebut merupakan permainan anak kecil di antara kami, namun permainan ini tidak menyenangkan untuk dinikmati gadis itu dengan temannya. Gadis itu menggigiti kukunya, mencoba berpikir tenang.
“Tenang, tidak apa-apa. Sebentar lagi, 3 tahun akan berlalu dengan cepat.”

Tidak, 3 tahun bukan waktu yang singkat untuk dilalui bersama para penjahat. Ke mana ia harus mengadu lagi ketika tempat itu tak mampu mewujudkan ketenangannya. Ia enggan mengadu ke orang tuanya, bukan karena ia tidak bisa. Percuma, mereka akan menyarankan untuk pergi ke orang pertama tadi untuk memberitahukan kejahatan orang-orang. Tidak ada yang sanggup menangani masalah gadis itu sampai akhir.

Perasaan ini mulai membengkak mengingat kejadian beberapa tahun silam. Perasaan yang tertanam sangat jauh di dalam relung hati, tersimpan apik di dalam deretan kotak masa lalu tanpa segel. Sewaktu-waktu memiliki kesempatan untuk terbuka kembali. Sebuah titik awal di mana banyak kepribadian tergantikan dengan kepentingan sosial. Diriku yang menjadi versi terbaik bagi setiap orang berbeda. Seyum yang merekah lebar tiap memandang orang, berusaha mencari topik yang digemari lawan bicara, membuat lingkungan yang nyaman bagi seseorang baru. Memikirkan pembalasan manis apa yang bisa kutebus untuk membayar kenangan pahit masa lalu. Masuk ke dalam lingkungan baru dengan harapan membentuk kepribadian baru yang lebih menjanjikan. Palsu, singkirkan delusi menjijikkan ini dari pikiranku. Topeng ini mulai terasa berat.

Penulis : Khusnaini Aulia

Editor : Firda Q.A.

Ilustrator : M. Ubaidillah. I.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *