Sun. Apr 28th, 2024

Plantarum Online

Tahu, Tanggap, Tandang

Meragukan Kemerdekaan Ala Amat

3 min read

Refleksi berwujud karya sastra yang disadur dari dialog dalam naskah monolog “Apakah Kita Sudah Merdeka”

“Jadi, apakah kita sudah merdeka kek?” Tiba-tiba ada suara anak kecil yang sedang bertanya-tanya pada kakeknya, mendengung di telinga Amir. Suara itu berputar di kepalanya. Setidaknya sebanyak 7 kali dalam kurun waktu dua menit.
Maklum, tadi sore Amir baru selesai menonton sebuah karya monolog milik Putu Wijaya. Naskah itu disadur oleh salah seorang temannya yang aktif berkegiatan seni dikampus Amir. Suara yang terus berputar itu, mengingatkan Amir pada sosok Amat. Tokoh anak kecil dalam monolog yang ditonton Amir tadi sore. Ada satu dialog dalam naskah tersebut yang masih melekat rapi di kepala Amir.
Dalam monolog tersebut Seorang kakek menjawab pertanyaan lugu dari anak kecil bernama Amat tentang kondisi kemerdekaan yang sedang dialaminya. Si kakek menjawab “Kalau kamu itu merdeka, kemerdekaan kamu dibatasi oleh kemerdekaan-kemerdekaan lain milik saudara-saudaramu yang ada di lingkungan kamu!,Yang sama merdekanya sama dengan kamu. Wal hasilll! Kalau kamu merdeka sebenarnya kamu tidak merdeka, Mengerti!?.”
Amir tahu betul perkara itu. Jauh sebelum menonton monolog karya Putu Wijaya tersebut, Amir pernah membicarakan kebebasan yang ia inginkan. Kebebasan mutlak yang Amir inginkan, ditentang oleh salah seorang kawannya ketika duduk bersama Amir dalam sebuah obrolan di warung kopi. Obrolan itu berakhir dengan kesepakatan bahwa bagimana kebebasan yang dilakukan oleh tiap individu adalah mutlak dimiliki oleh tiap individu itu. Namun, kebebasan yang dimiliki individu tersebut tidak dapat diberlakukan jika kebebasannya mengganggu kemerdekaan orang lain dalam bertindak atau tak bertindak sekalipun. Begitu kurang lebih obrolan Amir dan temannya saat berakhir.
Namun sekalipun Amir menyepakati perihal kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan orang lain tersebut, Amir masih mengkerut, giginya menggertak tergesek satu sama lain. Ia geram melihat berita yang berseliweran di laman media sosialnya belakangan ini. Berbagai media yang Amir lihat, begitu ramai dipenuhi dengan miniblog yang mengabarkan sebuah perkampungan padat penduduk di tepi utara Kota Bandung, dibombardir gas air mata oleh aparat. Dalam lain pemberitaan, beberapa media juga gencar mengabarkan perkembangan tiga petani yang ditangkap atas tuduhan penyebaran berita hoax, saat berusaha mempertahankan hak atas tanah mereka di ujung timur pulau jawa. Hingga saat Amir terus berselancar dengan ponsel pintarnya, ia dapati berita tentang perkembangan terkini kasus penembakan gas air mata oleh aparat dalam satu stadion sepak bola tahun lalu. Kasus yang menyebabkan 135 nyawa manusia melayang dalam sekejap itu, juga tak kalah ramainya dengan kasus-kasus represifitas aparat yang lain.
Bagi Amir, ini sudah bukan lagi kemerdekaan dalam konteks yang dibicarakan oleh kakek tua dalam monolog yang Amir tonton. Jika saja Amir hendak menenteng kutipan dari salah satu mantan presiden di negaranya, ia ingin menuliskannya dalam secarik kertas.
“Tak ada jabatan yang layak dipertahankan dengan pertumpahan darah rakyat.” Gus Dur
Jikasaja tak ada jabatan yang harus dipertahankan jika mengorbankan nyawa orang lain, maka bagi Amir tak ada lagi kebebasan jika harus merenggut kebebasan orang lain untuk menjalani hidup. Tak ada lagi suara kemerdekaan jika harus menumpahkan darah orang-orang yang ada di lingkungannya, disekitarnya, bahkan rakyat yang menghuni dan menjadi bagian dari koloni masyarakat hierarki di negaranya.
Amir ingin menuliskannya, dan menempelkan kertas kertas itu pada muka bopeng orang-orang yang telah merenggut kebebasan orang lain. Begitu menempel, sangat rekat. Hingga begitu dekat, hingga tak ada jarak di antara bibir mereka untuk tak membacanya. “Mereka harus membacanyaa.” Teriak Amir dalam batin.
Amir terus saja mengumpat. Persetan dengan kebebasan yang kalian hentakkan begitu nyaring. Hingga jam dinding yang terpaku diatas pintu kamar berantakannya, tak henti-hentinya berdetak. Jarumnya tepat menunjukkan pukul 02.30 wib. Namun mata Amir masih belum juga dapat dipejamkan.
Melihat berita berita-yang tersebar di laman sosial medianya. Semakin membuatnya susah melupakan dialog demi dialog dalam monolog yang Amir tonton. Serangkaian peristiwa yang dialami Amir dalam satu hari ini, seolah menjadi alarm refleksi baginya untuk mempertanyakan kebebasan semacam apa yang selama ini orang-orang sekitarnya rayakan. Lebih-lebih di tanggal-tanggal 17 Agustus yang sudah tinggal beberapa hari lagi.
Menjelang tidurnya Amir kembali mempertanyakan, apakah memang kebebasan semacam ini yang diinginkan? . Kebebasan atau kemerdekaan yang mengorbankan nyawa sebanyak ini yang sebenarnya diinginkan oleh kakek nenek yang berjuang untuk mendapatkan kebebasan itu 78 tahun yang lalu. Bagi Amir setelah negaranya melewati masa kemerdekaan selama 78 tahun ini pun, secara tak disadari pada akhirnya mengantarkan orang-orang yang didalamnya untuk menjadi penjajah baru, penindas baru di negerinya sendiri. Ia mempertanyakan lagi perihal kebebasan macam apa ini. Di luar sana ribuan nyawa akhirnya melayang. Dari sini Amir memikirkan kebebasan untuk hidup saja sudah dirampas begitu mudahnya lewat moncong senjata yang ditodongkan pada kepala rakyatnya sendiri.

Penulis : M ‘Ubaidillah I

Ilustrator : Firda Qurrota’ayun

Penyunting : Shela R.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *