Fri. Apr 19th, 2024

Plantarum Online

Tahu, Tanggap, Tandang

Kamar Sempit Persma

3 min read

Keberadaan pers mahasiswa (Persma) memiliki peranan penting dalam kehidupan negara, bukan hanya dalam lingkup kampus. Hal ini ditunjukkan pada masa Orde Baru (Orba) ketika kebebasan pers arus utama dikunci lewat Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan kontrol Departemen Penerangan, disisi lain persma berani menaikkan berita-berita kritis pada masa itu yang tidak dinaikkan oleh pers arus utama. Persma merupakan media alternatif yang berada pada kuadran dua sebagai lembaga yang tidak terverifikasi dalam dewan pers, namun pemberitaannya masih sesuai dengan standar dan kode etik jurnalistik. Meskipun Persma belum bisa dikatakan sebagai pers yang sepenuhnya profesional, namun Persma juga mengerjakan kegiatan jurnalistik yang sama dengan pers pada umumnya. Perbedaan pers profesional dan Persma secara garis besar hanya pada badan hukum yang sesuai dengan UU No. 40 tahun 1999 tentang PERS.

Pers mahasiswa adalah musuh kampus, merupakan suatu gambaran yang terlintas ketika saya membaca berita-berita yang menyiarkan kabar mengenai pemecatan 18 anggota LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Suara USU (Universitas Sumatera Utara) oleh Rektor melalui Surat Keputusan (SK) yang diterbitkan setelah salah satu anggota LPM Suara USU mengunggah sebuah cerpen berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya”. Rektor USU berdalih bahwa cerpen tersebut mempropagandakan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Beberapa upaya mediasi sudah dilakukan, salah satunya adalah dengan mengadakan diskusi terbuka untuk menganalisis cerpen tersebut dan mendiskusikan kebebasan berekspresi pers yang turut mengundang pembicara ahli dari sastrawan dan Dewan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan. Namun, pihak rektorat datang bukannya ikut membedah isi cerpen ataupun berdiskusi tentang kebebasan pers. Perintah untuk membubarkan diskusi dan mengosongkan sekretariatan lah yang diucapkannya. Diskusi tetap berlanjut dan keadaan tetap kondusif dalam sekretariatan LPM Suara USU.

Sejak keluarnya SK Rektor yang menyatakan memberhentikan 18 anggota LPM Suara USU tanggal 25 Maret 2019, Suara USU terus mengupayakan berbagai cara supaya SK Rektor tersebut dicabut seperti melalui jalur non-litigasi yang ternyata tetap saja ditolak. Penempuhan jalur hukum pada tanggal 5 Juli 2019 merupakan salah satu langkah strategis untuk menanggapi SK Rektor tersebut dengan menggandeng Perhimpunan Bantuan Badan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU). Pihak Suara USU menggugat pihak rektorat melalui Pengadilan Tinggi Negeri Usaha Negara (PTUN).

Sidang perdana atas gugatan SK Rektor tentang pemecatan 18 anggota LPM Suara USU diadakan pada tanggal 14 Agustus.  Perwakilan dari pihak rektorat hadir kuasa hukum dari dosen Fakultas Hukum USU yaitu Bahtiar Hamzah. Bahtiar menjelaskan bahwa gugatan tidak bisa diterima dengan alasan keterlambatan dalam melayangkan gugatan yang merujuk pada UU No.9 tahun 2004. Penggugat harusnya melayangkan gugatan setelah 90 hari setelah SK diturunkan, sedangkan gugatan baru dilayangkan pada tanggal 5 Juli 2019. Belum lagi ditambah dengan dalih bahwa masa tenggat kepengurusan LPM Suara USU sesuai SK kepengurusan berakhir pada tanggal 26 Juni yang berarti pengurus LPM Suara USU tidak memiliki kredibilitas untuk melayangkan gugatan karena sudah tidak menjabat sebagai pengurus lagi.

Pihak Suara USU menanggapi hal tersebut dengan menyatakan bahwa gugatannya tidaklah keliru apabila mengacu pada Perma No.6 tahun 2018 tentang dasar-dasar pengajuan gugatan PTUN, yaitu pengajuan gugatan terhitung 90 hari dari surat keberatan yang diajukan pada tanggal 17 Mei 2019, bukan terhitung dari SK pemecatan yang diterima. Yael Stefani selaku Pimpinan Umum Suara USU menyuarakan gugatannya dengan rujukan dari Peraturan Majelis Wali Alamat (MWA), UU mengenai HAM, dan UU tentang Perguruan Tinggi. Banyak isi dari UU yang menurut Yael telah banyak disalahi oleh pihak rektorat dengan dikeluarkannya SK Rektor tentang pemecatan anggota yang berdampak pada terbatasnya ruang gerak mahasiswa untuk berekspresi yang ditunjukkan dengan pembongkaran sekretariatan LPM Suara USU dan banyak hal lainnya. Pemecatan 18 anggota LPM Suara USU menurut saya tidak menggambarkan refleksi dari pemahaman sejarah Persma, posisi Persma, hak-hak Persma, dan tindakan represif yang seharusnya perlu dipahami tiap-tiap insan, terkhusus sivitas akademika.  Meskipun secara garis besar Persma bukan termasuk pers profesional yang berbadan hukum, namun dalam praktiknya Persma tetap memenuhi standar dan kode etik jurnalistik yang telah diatur dan disepakati. Kasus pemecatan 18 anggota LPM Suara USU atas dasar mempromosikan LGBT ini menurut saya tidak sesuai dengan landasan hukum perlindungan kemerdekaan pers yang tertuang dalam UU No. 40 tahun 1999 pasal 6 ayat 2 yang berisi tentang penegakkan nilai-nilai demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), dan menghormati perbedaan. Sifat represif yang ditunjukkan oleh Rektor USU merupakan suatu blunder seorang akademisi yang seharusnya menunjukkan sikap terpelajar dengan memahami dan melakukan pengkajian yang didasari dengan undang-undang negara.[]

Oleh : Muhammad Gazza Daffa Viali
Editor : Famnun Alaina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *