Sawah Art Space : Adat dari Hati Bukan Proposal
4 min read“Bapak kita, kakek kita itu menanam dan membuat apapun untuk anak cucu. Saya pun ketika membuat Pesinauan Osing untuk anak cucu, saya berkarya untuk regenereasi.” –Slamet Diharjo, Pelopor Pesinauan Osing.
Jarum jam dinding sudah menunjukkan pukul 08.30 WIB ketika seorang seniman tari paruh baya dengan lantang mengeluarkan kalimat di atas. Sementara masih terus mengobrol, tangannya dengan telaten memisahkan blarak (daun kelapa) dari batang daunnya. Tak lama kemudian, beberapa anak kecil mulai berdatangan ke pondok yang dibangun di atas bekas area persawahan tersebut.
“Hari ini materinya mengayam, nanti siang lanjut latihan menari,” ujar pria yang kerap disapa Cak Sul tersebut. Ia bersama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menjadi pelopor berdirinya Sekolah Adat Osing “Pesinauan” di Sawah Art Space di Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi.
Baginya di sebut sebagai seniman adalah hal yang lebih nyaman. Sebab, dirinya masih merasa enggan untuk disebut sebagai budayawan. “Saya lebih senang dikenal sebagai seniman tari. Kalau budayawan, saya masih bukan pembaca budaya yang baik,” tegasnya. Di tengah kesibukannya dalam berkegiatan pada Pesinauan Osing Ini, ia juga berprofesi sebagai guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) di salah satu Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA) di Banyuwangi. “Saya juga seorang guru tari di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),” ujarnya. Walaupun aktif di dua kegiatan sekaligus bukanlah sebuah masalah karena masih dalam satu lingkup yang sama.
Sejak awal pandemi 2 tahun yang lalu, aktivitas Cak Sul pada hari Minggu dan Selasa selalu disibukkan di area Pesinauan Osing yang berdiri di atas sawah pemberian bapaknya tersebut. “Tanah ini pemberian orang tua saya sebanyak tujuh petak, saya jadikan sekolah adat,” tuturnya. Tanah hasil warisan dari orang tuanya tersebut ia jadikan lahan sebuah sekolah adat untuk siapa saja yang mau belajar tentang budaya dan adat Osing di Banyuwangi secara cuma-cuma .
“Siapapun yang mau belajar boleh saja, tidak dibatasi. Saat ini ada sekitar 40 siswa, kita tidak menghitung yang penting ada, mau, monggo,” lanjutnya. Selain karena faktor perlunya melestarikan, kemauannya bergerak dengan ikhlas mau merelakan waktu serta materi demi keberlanjutan eksistensi budaya dan adat Osing di Banyuwangi, juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya sebagai lulusan sarjana seni di Sekolah Tinggi Wilwatikta, Surabaya.
Cak Sul teringat dengan salah seorang dosennya pernah berkata, “Sul, seniman yang berhasil itu adalah seniman pulang kampung.” yang membuatnya mengurungkan niat awal sebagaimana anak muda pada umumnya. Yang mana sewaktu itu ia berniat untuk menguji keberuntungannya dengan bekerja dikota kota besar, seperti Jakarta atau Yogyakarta. Yang baginya akan lebih dihargai secara nominal atas apa yang ia kerjakan sebagai seniman. Berbekal pada ucapan dosennya tersebut ia memilih untuk pulang ke tanah asal dan melihat adanya potensi di Banyuwangi khususnya ruang-ruang untuk mengembangkan budaya. Dari berbagai kebudayaan seperti barong dan jaranan, akan semakin terkikis bila tidak segera dilestarikan.
Beberapa masyarakat adat suku Osing berpandangan positif terhadap adanya Pesinaunan Osing ini. “Menyenangkan, anak saya jadi bisa belajar banyak hal di luar ruangan. Bisa belajar menari juga. Tidak hanya bermain gadget.” Ucap Yuni, salah seorang masyarakat sekitar yang turut mengantarkan anaknya belajar di Pesinauan Osing. Hal selaras juga disampaikan oleh salah satu siswa yang belajar disana. Belajar di Pesinauan Osing ini bisa melatih hal-hal yang tidak ia dapatkan di pendidikan formal. “Disini saya bisa belajar menari dan hal-hal kesenian lainnya dan juga tidak mengganggu waktu sekolah,” ujar bocah kelas VII tersebut.
Dalam proses berjalannya Pesinauan atau sekolah adat Osing dengan tajuk Sawah Art Space tersebut, Cak Sul tidak berjalan sendirian. Ia bahu-membahu bersama dengan teman-temannya dari organisasi AMAN. Dimana pada hari minggu ini, juga terdapat Wiwin, dosen Sastra Universitas Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Banyuwangi yang juga aktif dalam pengkajian kesusastraan Suku Osing Banyuwangi. “Selain sebagai ketua AMAN, saya juga sebagai Penelitian dan Pengembangan (Litbang), karena kebanyakan pengelola berasal dari teman-teman barisan adat nusantara,” ujar perempuan asal Banyuwangi tersebut.
Baginya, penting dalam proses keberlanjutan regenerasi serta eksistensi budaya adat Osing dari generasi ke generasi. Wiwin kerap kali berpartisipasi dalam pemberian materi, contohnya dalam pemberian materi ritual atau tentang manuskrip kuno di Banyuwangi. Kemudian tentang Osing, tentang mocoan.
Perihal dana dari keberadaan Pesinauan Osing ini, menurut Cak Sul tidak menggunakan dana dari pemerintah. “Dananya swadaya saya dan swadaya teman-teman, serta sumbangsih komunitas lain,” ujarnya. Ia juga tidak mengharapkan adanya dana dari investor luar terkait dengan kebutuhan pendanaannya, “Manajemen yang menyenangkan adalah manajemen yang dikelolah oleh swadaya sendiri. Jadi saya tidak menerima bantuan dari tambang, maupun pemerintah.”
Bagi Cak Sul tak ada yang lebih membahagiakan dari sekedar melakukan segala hal dengan penuh keikhlasan. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh filsuf Yunani kuno Aristoteles, “Seni tertinggi adalah pembangunan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan.” Begitupun dengan yang dilakukan Cak Sul. Ia memilih untuk berjalan, bahu-membahu bersama masyarakat adat sekitar dalam membangun iklim berbudaya yang lestari dan kreatif tanpa adanya tuntutan dari pihak luar “Seniman itu berkarya dari hati bukan dari proposal,” pungkasnya sembari beranjak menuju pondok untuk memulai proses pembelajaran menganyam.
Penulis : M. Ubaidillah I
Fotografer : M. Ubaidillah I
Editor : Shela Rosania