Sat. Dec 7th, 2024

Plantarum Online

Tahu, Tanggap, Tandang

Berorganisasi Bukanlah Kebutuhan Primer Mahasiswa

4 min read

Mahasiswa,

“Kalian sudah mahasiswa kan?”.

“Sebagai mahasiswa seharusnya begini begini begini?”.

Nyaris dua tahun saya mendengar kalimat seperti ini hingga seringkali lupa untuk mendengar kata hati sendiri. Setelah mencari dari berbagai sumber, akhirnya saya menjatuhkan pilihan untuk memilih artian yang tertulis di KBBI. Jadi di KBBI tertulis bahwa artian mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi.

Ketika saya telaah lebih rinci, mahasiswa sebenarnya sama sekali tidak ada bedanya dengan jenjang pendidikan yang lain. Dilansir dari laman Kemdikbud, memang terdapat beberapa perbedaan sebutan bagi ‘peserta didik’, contohnya; murid untuk peserta didik sekolah dasar, pelajar untuk peserta didik sekolah menengah pertama, siswa untuk peserta didik sekolah menengah atas, dan mahasiswa untuk peserta didik tingkat perguruan tinggi.

Setelah cukup jelas bagaimana penamaan identitas mahasiswa, permasalahan lain yang tidak kalah menyebalkan adalah simpang siurnya informasi SKPI di antara mahasiswa. Itu loh Surat Keterangan Pendamping Ijazah, salah satu bekal kelulusan yang berisi informasi tentang pencapaian akademik selama kuliah. Yah akhir-akhir ini banyak mahasiswa yang kepincut bergabung ke organisasi ini dan itu hanya karena takut tidak mendapatkan SKPI. Alhasil mereka hanya ikut-ikutan aja tanpa dilandasi minat dan dedikasi. Masih untung kau awalnya ikut-ikutan terus akhirnya jadi kerasan (betah), nah  tapi kalau cuma pansos alias panjat sosial? Kan jadi bingung juga.

‘Apa iya hal tersebut memang benar?’ Bukankah namanya organisasi mahasiswa sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kegiatan ekstrakurikuler di tingkat pendidikan sebelumnya, tempat mahasiswa menyalurkan bakat dan minatnya. Hal-hal seperti ini selalu memicu kekepoan para mahasiswa mager dalam menanyakan status kelulusannya pada saat waktunya nanti.

Mengutip dari buku pedoman akademik 15161 Universitas Jember, mahasiswa yang lulus pastinya akan mendapatkan Surat Keterangan Lulus (SKL), ijazah, gelar, dan transkip nilai. Namun sejak Juni 2017 masih diberi tambahan lagi dengan apa yang disebut SKPI itu, jadi semua mahasiswa yang lulus sudah semestinya mendapatkan kelima-limannya.

“Lantas bagaimana dengan mahasiswa yang tidak ikut organisasi sama sekali, apakah tetap akan mendapatkan SKPI?”

Jawabannya tentu saja. Mengutip dari laman fmipa.unej.ac.id, di dalam SKPI itu memuat dua poin utama, poin pertama yaitu mengenai sikap dan tata nilai yang bisa diketahui dari kegiatan mata kuliah umum. Sedangkan poin kedua berisi segala macam aktivitas dan prestasi yang pernah diraih selama berada di kampus. Segala macam kegiatan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi delapan butir nilai, salah satunya yaitu sertifikasi magang dan KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang mana merupakan sebuah keniscayaan mahasiswa untuk melaksanakannya.

Bukannya saya mau deklarasi anti-organisasi mahasiswa, tidak. Saya hanya merasa eman (sayang) ketika ada mahasiswa yang menyibukkan diri dengan berorganisasi, tapi lupa tanggung jawabnya sebagai peserta didik. Bahkan mungkin saja ada mahasiswa berniat melakukan riset yang idenya mengguncang dunia, eh malah keasikan di dunia kecilnya sendiri dengan berorganisasi.

Meski tidak selalu mengarah pada organisasi tertentu, mari sepakati bahwa setiap mahasiswa memiliki kebebasan dan mahasiswa pun selalu memiliki kegiatan atau sesuatu yang mereka senangi. Tak harus di kampus, mahasiswa dapat melakukan aktivitasnya di kos atau tempat lain yang dirasa nyaman untuk menyalurkan bakat dan minatnya.  Kampus memang tidak cukup luas untuk mencakup seluruh kebutuhan dan harapan mahasiswa.

Hal yang sama berlaku bagi mahasiswa, yang mana harus selalu menjalankan hak dan kewajiban. Menurut Kemenristekdikti, tugas mahasiswa yang utama adalah belajar dan menerima pembelajaran di tingkat perguruan tinggi. Bukankah menjalankan apa yang disebut tridharma perguruan tinggi sudah cukup untuk menjadi mahasiswa? Sebab dengan itu saja mahasiswa tidak akan kehilangan identitasnya. Malah beberapa kalangan seringkali menambahinya dengan julukan kupu-kupu, alias kuliah pulang-kuliah pulang. ‘Mahasiswa Kupu-kupu’ Uwaa bukankah itu indah.

Bukannya organisasi itu tidak penting, tapi organisasi juga bukanlah kebutuhan primer. Dalam ekonomi, apa yang disebut kebutuhan adalah hasrat manusia yang harus dipenuhi. Apabila tidak dipenuhi maka akan menjadi masalah suatu hari nanti. Contoh kebutuhan primer manusia yaitu sandang, pangan, dan tempat tinggal. Begitu pun organisasi, disebut bukan kebutuhan primer karena tidak mengikuti organisasi pun mahasiswa tidak akan mati statusnya. Bisa saja berorganisasi bagi sebagian orang adalah kebutuhan sekunder atau pun tersier. Karena kebutuhan sekunder bisa muncul dari adanya kebutuhan rohani, seperti hiburan dan bersosialisasi dengan sesama hobi.

Dilansir dari solid.or.id, terdapat keuntungan dalam mengikuti organisasi, yaitu dapat membiasakan diri terhadap orang yang tidak sependapat dan bisa bertengkar tanpa benci dengan cara mengeluarkan argumen yang relevan. Karena dengan bertemu banyak orang maka seseorang dapat lebih mudah memahami orang lain. Mengikuti organisasi adalah suatu hal yang harusnya dilaksanakan dengan ikhlas dan legowo. Pierre de Freddy ‘Ayah Olimpiade’, pernah menyatakan bahwa partisipasi adalah hal yang terpenting, hal ini dapat diartikan bahwasanya selalu ada manfaat dari setiap kegiatan yang kita ikuti.

Tidak ada paksaan untuk seseorang mengikuti organisasi, mahasiswa harusnya selalu bebas untuk menjalankan apa yang mereka sukai tanpa menimbulkan stigma bagi yang tidak mengikuti arus. Sejauh ini memang selalu ada kubu-kubuan antara tim mahasiswa kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat) dan tim mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang). Umumnya tim kura-kura menjalani organisasi dengan menyinggung tim kupu-kupu, dan tiap kali berbuat, meski sedikit saja tapi sudah merasa paling berjasa. Sedangkan tim kupu-kupu tidak semuanya mengejar akademik, bahkan seringkali mewajarkan tindakannya hanya karena tidak ingin melakukan sesuatu. Paradigma seperti inilah yang perlu dihilangkan karena merupakan penyakit yang selalu saja eksis dan menyebar layaknya sel kanker, dan itu sama sekali tidak sehat.

Penulis : Ferdi Hariyanto

Editor : Erlita Diah Salsahbila, Fayza Santika dan Givi Ria Arindi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *