EKSPLORASI DAN EKSPLOITASI PANAS BUMI BESERTA DAMPAK LIMBAH CAIRNYA TERHADAP LINGKUNGAN
4 min readMenurut Mei dan Sulistyono (2019) dan Saputra et.al (2019) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.000 pulau dan secara permanen baru dihuni sebesar 922 pulau dengan iklim tropis. Dengan begitu Indonesia memiliki potensi sumber daya yang melimpah, salah satunya yaitu sumber daya panas bumi (geothermal). Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumber daya panas bumi terbesar di dunia, dengan membentuk jalur gunung api. Sumber daya panas bumi merupakan sumber energi panas yang terbentuk secara alami di bawah permukaan bumi dan tersimpan dalam bentuk uap panas atau air panas pada kondisi geologi tertentu. Sedangkan menurut UU No.21 Tahun 2014 panas bumi merupakan sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, batuan, mineral, dan gas lainnya yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi.
Pemanfaatan panas dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pemanfaatan panas bumi secara langsung merupakan kegiatan memanfaatkan energi panas bumi untuk keperluan selain pembangkitan listrik yang disesuaikan dengan temperatur yang dibutuhkan (Malik, 2016). Sementara itu pemanfaatan panas bumi secara tidak langsung yaitu kegiatan pemanfaatan yang melalui proses-proses tertentu seperti eksplorasi dan eksploitasi, adapun contoh dari kegiatan ini yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Menurut Yuniarto et.al (2016) Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) telah dimanfaatkan di beberapa negara dengan kapasitas yang cukup besar, yakni sebagai berikut Amerika Serikat dengan kapasitas PLTP sebesar kapasitas PLTP sebesar 3093 MW, Philipina dengan kapasitas PLTP sebesar 1904 MW, dan Indonesia dengan kapasitas PLTP sebesar 1197 MW. Dan sampai dengan Desember 2015 lapangan panas bumi di Indonesia telah dimanfaatkan untuk PLTP sebanyak 10 lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia dengan total kapasitasnya yaitu sebesar 1438,5 MW. Pengembangan energi panas bumi modern di Indonesia dimulai pada tahun 1983 di Kamojang, yang kemudian diikuti dengan beroperasinya Unit-1 PLTP dengan kapasitas 30 MV pada tahun 1983, dan pada tahun 1985 disusul 2 unit lainnya yang beroperasi dengan kapasitas 55 MV. Sementara itu, PLTP yang pertama kali beroprasi yaitu pada bulan agustus tahun 2001 di Lahendong dengan kapasitas 20 MV (Fandari et al., 2014).
Energi panas bumi yang dimanfaatkan ini merupakan sumber energy terbarukan yang lebih stabil dan ramah lingkungan dibandingkan dengan minyak dan gas bumi. Akan tetapi, dalam proses pembangunannya mulai dari kegiatan hulu, yaitu tahap eksplorasi dan eksploitasi, hingga kegiatan hilir, yaitu tahap penggunaan panas bumi untuk pembangkit listrik menghasilkan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang memiliki potensi mencemari lingkungan. Limbah yang dihasilkan dari proses pembangunan PLTP ini berupa limbah cair, limbah padat, dan limbah gas, yang dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya (Mei dan Sulistyono, 2019).
Contohnya pembangunan PLTP di Bedugul Bali tahun 2005 yang mendapat penolakan dari masyarakat dan mangkrak hingga saat ini. Penolakan tersebut dikarenakan keresahan masyarakat terhadap menyusutnya air permukaan dari danau akibat dari eksplorasi 3 sumur, selain itu limbah yang dihasilkan menyebabkan perubahan komposisi kimia dari air permukaan, Dampak lainnya yaitu pepohonan yang berada di sekitar PLTP mulai meranggas dan kering, dikarenakan pepohonan tersebut menerima uap panas dari uap buangan yang dilepaskan ke udara (Saputra dan Kusuma, 2019).
Kasus lainnya yaitu pembangunan PLTP di daerah Dieng, yang menghasilkan limbah berupa geothermal brine dan sludge. Terdapat adanya endapan lumpur yang dihasilkan pada kolam pengendapan, yang setiap bulannya mencapai 165 ton. Selain itu, terdapat limbah padat dan cair pada saat kegiatan eksplorasi geothermal yang mengganggu distribusi aliran sungai, sehingga juga menyebabkan kekeringan jika air sungai digunakan secara terus menerus dalam jangka waktu yang panjang. Di sungai Cikaro juga mendapat dampak dari kegiatan eksplorasi geothermal yang mempengaruhi atau mengganggu keanekaragaman ikan (Permana et al., 2015).
Wahyuananto (2019) juga mennyatakan dampak negatif lainnya yang ditimbulkan oleh pembangunan PLTP yaitu terjadinya pengrusakan ekosistem akibat dari kegiatan pembukaan lahan, terjadinya amblesan tanah, longsor, munculnya rekahan pada batuan bawah tanah, terjadinya gempa bumi kecil, hingga yang terparah yaitu munculnya semburan lumpur panas. Beberapa dampak tersebut tidak hanya sebatas kekhawatiran dan dugaan, melainkan sudah pernah terjadi beberapa titik kawasan pengembangan PLTP , baik dalam maupun luar negeri. Seperti halnya semburan lumpur panas yang telah terjadi di PLTP Malatoko, dan gempa bumi kecil yang pernah terjadi di Basel, Swiss.
Oleh karena itu, limbah dari energy panas bumi yang dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) harus dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Pengolahan tersebut juga harus sesuai dengan regulasi lingkungan hidup, baik undang-undang lingkungan hidup maupun regulasi turunanya seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan menteri. Sejalan dengan hal tersebut untuk melindungi lingkungan dari pencemaran limbah PLTP, pemerintah telah mengatur baku mutu limbah yang dihasilkan oleh PLTP melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi.
Daftar Pustaka:
Trianto, W. M. (2019). Sumber Limbah dan Potensi Pencemaran Penggunaan Sumber Daya Alam Panas Bumi (Geothermal) pada Industri Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Swara Patra, 9(2): 52-62.
El Fandari, A., Daryanto, A., & Suprayitno, G. (2014). Pengembangan energi panas bumi yang berkelanjutan. Semesta Teknika, 17(1): 68-82.
Saputra, I. N. A. A., & Kusuma, I. G. B. W. (2019). Analisa Limbah Cair dan Limbah Uap pada Rencana Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Bedugul Sistem Binary dengan Simulasi CFD. Prosiding Konfrensi Nasional Engineering Perhotelan X, 423, 427.
Yuniarto, Y., Soesilo, T. E. B., & Hamzah, U. S. (2016). LIMBAH CAIR PANAS BUMI DAN DAMPAKNYA TERHADAP LINGKUNGAN. Jurnal Matematika Sains dan Teknologi, 17(2): 99-108.
Permana, M. S., & Hamdani, H. (2015). Pengaruh Kegiatan Geothermal Terhadap Keanekaragaman Ikan Di Aliran Sungai Cikaro, Kabupaten Bandung. Jurnal Perikanan Kelautan, 6(2 (1)).
Penulis : Gelang Arum Kemangi Sukma
Editor : M. ‘Ubaidillah I.