Sun. Apr 28th, 2024

Plantarum Online

Tahu, Tanggap, Tandang

Surat Cinta Dari Mojo Untuk Industri Rokok

5 min read

Ada alih fungsi manusia merdeka
Menjadi budak iming iming sejahtera
Dipaksa menjual lahan untuk tumbuh kemakmuran
Bagi si pemodal
-Lagu 2 Kontra Tindas, Tanasaghara

Bait-bait dalam lagu tersebut, seketika begitu menggema dalam kepala. Bersamaan dengan riuhnya tawar menawar penjual pasar dan pembelinya, saya terdiam di samping motor yang baru saja terparkir. Menoleh kanan-kiri sembari menjepit sebatang rokok yang sebentar lagi habis. Akhirnya, mata saya luluh pada warung kopi yang menyajikan fasilitas tontonan film lawas peragaan Jackie Chan melalui televisi. Perjalanan pulang kali ini, saya memutuskan untuk mampir sebentar di tengah perjalanan. Karena menyeduh kopi di pelataran pasar pada waktu dini hari adalah pilihan yang tepat menurut saya.
“Kopi pak satu.” Pesan saya.
“Iya, ditunggu ya mas, airnya belum mendidih.” Balas si bapak penjual kopi dengan suara yang terdengar samar.

Sementara saya, hanya mengangguk. Suara balasan dari bapak penjual kopi tadi sedikit tertutupi oleh suara earphone yang sejak keberangkatan dari rumah kontrakan telah menempel mesra pada lubang telinga. Setelah beberapa menit si bapak penjual kopi datang dengan sebilah nampan berisikan cangkir dan kopi

“Monggo mas.” Ujar si bapak setelah meletakkan kopi yang saya pesan. Saya hanya mengangguk sembari memberikan senyuman lebar pertanda ucapan terimakasih. Si bapak duduk disamping. Diam, menoleh kanan-kiri, memperhatikan tas yang saya bawa kemudian memandangi saya beberapa detik seolah-olah hendak mengajak berbincang atau sekedar menyapa. Namun, ia urungkan niatnya melihat sepasang earphone menancap pada telinga dan memilih memangku dagu sembari menonton film pada televise ia pasang.

Jika diperhatikan lebih jeli, warung kopi yang ia kelola sangatlah minimalis. Ia gelar didepan sebuah ruko yang sudah tutup dan hanya terdapat tiga meja panjang berpasangan dengan beberapa kursi panjang juga di kanan kirinya. Pengunjungnya juga hanya saya dan satu bapak-bapak yang sedari tadi sibuk mengoperasikan handphone. Lagunya belum selesai. Namun, saya putuskan untuk berhenti sejenak meminum kopi kemudian menyulut sebatang rokok.


“rokok pak.” Tawar saya pada bapak penjual kopi
“Iya mas. Saya juga punya kok. Anak muda kok rokoknya kretek.” Si bapak meledek sambil tersenyum. Pertanda ia mencoba untuk mengakrabkan diri.


“Ndak punya uang pak buat beli yang filter.” ia tertawa mendengar jawaban saya. kemudian ia sambung dengan ucapan “Sama mas, saya juga ndak punya uang buat beli yang kretek. Hahaha.” Ia mengeluarkan plastik berukuran satu kiloan berisikan tembakau dari kantongnya. Tembakaunya hitam pekat, terlihat sedikit basah. Dalam bayangan saya, tembakau yang ia bawa sepertinya tembakau yang berat untuk dihisap.


“Ini tembakau trenggalek mas.”
“belinya di trenggalek pak?” jawab saya dengan muka sedikit heran.
“ya nggak juga mas. Katanya yang jual, ini namanya tembakau trenggalek. Cuma ngga tau nanenyam dimana bisa aja ditanem di Arjasa. Hahaha. Monggo kalo mau nyoba enak kok” Saya mencoba untuk ikut tertawa meskipun ngga ada lucu juga untuk diketawain.
“Ah kayaknya berat ya pak. Item pekat gitu” mendengar jawaban ini si bapak tersenyum kemudian membalas “Engga kok mas, ngga semua tembakau yang pekat itu berat. Biasanya tembakau yang berat dan pekat gini dibarengi sama cengkeh untuk nyesapnya. Cuma ini engga. Rasanya ringan, mirip-miriplah sama rokok yang samean hisap.” Sambil menunjuk sebungkus geo kretek di depan saya.

Kami berbincang panjang perkara tembakau dan harga rokok yang kian masa makin melambung. Si bapak telihat fasih menjelaskan jenis jenis tembakau beserta karakteristiknya. Pengetahuan saya yang kosong melompong mengenai pertembakauan, makin terlihat jelas dengan sikap yang ditunjukkan. Hanya diam dan memperhatikan. Perbincangan kami berlanjut kemana-mana. Dari sini saya tahu bahwa dulunya beliau adalah seorang petani tembakau. ia bercerita bagaimana proses yang ia jalani ketika beralih profesi pada penjual kopi setelah memutuskan untuk menjual lahannya lantaran terlilit hutang dengan gudang tembakau biasa ia menyetor. Saya tertegun mendengan ceritanya. Mirip dengan lirik lagu tadi.


“Jadi petani capek mas. Belum selesai sama perkara biaya produksi, sudah terbentur sama sisa hutan-hutang yang harus dilunasi bekas biaya tanam sebelumnya.”
“Iya pak. Di Lumajang, bapak saya juga petani, kemarin nanem timun. Satu karungnya dihargai
dua puluh ribu sama tengkulaknya. Kemarin ikut nganter timunnya juga. Alhamdulillah panen
dapet dua karung.” Si bapak tertawa

“ya emang gitu mas, jadi petani susah mau kaya kalo ngga dijual sama tanahnya juga. Hahahah. Itu berarti bapak samen duma dapet 40 ribu kan? belum lagi wira-wirinya kepotong bensin yang sekarang udah naik. Tengkulaknya pasti ngga akan mau jemput kalo cuma sekarung dua karung. Mending gini dah jualan kopi, kerja sambil nongkrong.
Oh iya tadi nyebut Lumajang. Masnya dari Lumajang? Ke jember mau ngapain? Kerja? Atau kuliah?”

“iya pak bener susah kaya. Hahahah. Kalo saya sendiri kuliah pak, ini mau pulang, liburan semester.” Sembari memegang carier dibawah.
“kuliah jurusan apa” Saya terdiam beberapa detik. Sejenak berfikir untuk mau dijawab dengan jujur atau bohong.
“Pertanian pak.” keputusan yang jujur dan pendek dengan hanya menyebut nama fakultasnya saja.Karena malas juga untuk menyebut nama prodi.

“wah cocok dong kuliah di pertanian. Harusnya udah tau caranya bikin pupuk. Anaknya petani pula. Tinggal nerusin bapakmu.” Wajahku memelas pucat pasi mendengar jawaban si bapak. Inilah yang paling meresahkan ketika harus bercerita perkara asal jurusan. Merasa anak pertanian tapi masih bodoh soal pertanian.
“ah ngga juga pak. Fakultasnya aja yang pertanian, lebih tepatnya di jurusan Ilmu tanah. Saya lebih suka untuk focus di bidang pembuatan peta dan pengelolaan lahan rawan erosinya.” Tuh kan akhirnya keluar juga jurusan itu dari mulut saya. Sedangkan si bapak membalas dengan tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang membuatnya tertawa.


Beberapa anak muda mulai datang dan memesan kopi. Salah satu dari mereka membawa gitar. Seperti sekelompok pengamen. Perbincangan saya dengan bapak penjual kopipun terputus. Saya duduk diam, memperhatikan bapak yang sibuk melayani pembelinya dengan wajah sumringah dan ramah. Memang tidak sebegitu mudahnya mengenal karakter orang dengan hanya sekali duduk. Tapi bisa terlihat bagaimana si bapak penjual kopi bisa begitu asik menjalani hidupnya setelah ia kehilangan lahan warisan yang sudah menghidupinya semenjak kecil.

“Rejekingga akan tertukar.” Ucapan si bapak yang saya ingat dari perbincangan tadi.

Mungkin si bapak adalah salah satu contoh dari banyaknya petani tembakau yang lahannnya tergilas habis oleh monopoli dagang tengkulak. Saya jadi ingat pada tembakau mojosari. Salah satu jenis tembakau yang namanya diambil dari salah satu daerah dikabupaten saya, Lumajang. Jika di ingat, saya pernah memiliki niatan untuk membuat film documenter soal petani tembakau di mojosari ini. Namun akhirnya gagal karna terbentur beberapa kesibukan di perkuliahan. Beberapa petani disanajuga menyandang kasus yang sama dengan bapak tadi. Petani tembakau di desa mojosari terpaksa harus menjual lahannya. Hasil panen yang mereka setorkan pada gudang masih harus diseleksi oleh gudang. Kemudian tembakau yang tidak masuk kriteria, harus ditolak. Namun, ketika petani kebingungan hendak melempar kemana sisa hasil panen mereka, akan ditawar lagi oleh pihak gudang dengan harga yang tidak masuk akal. Belum lagi dengan perkara lain. ntah tiba tiba pikiran saya melompat pada Ismail, seorang petani tembakau jenis kasturi dari daerah yang sama. Dengan banyaknya persoalan yang ada pada tata niaga pertanian tembakau ia masih berjuang dan percayaakan peruntungan dari pertanian sektor ini. Namun bukannya untung, Ismail justru rugi dan terpaksa tombok. Hasil penjualan panen tembakau Kasturi pada 2021 tak bisa menutup modal.

“Biasanya kan lahan saya tanami Burley, minimal dari lokasi itu dapat 1,5 ton, dan itu modalnya paling besar Rp20 juta. Ambil rata-rata harga Rp30.000 per kilogram, berarti kan dapat Rp45 juta. Itu paling rendah.” Sialnya lagi, pabrik belum sepenuhnya melunasi uang hasil penjualan panen tersebut. Dari sekitar Rp19 juta, perusahaan baru membayar Rp7 juta.

Seorang Akademisi dari Universitas Gajah Mada AB Wdyanta menggambarkan kehidupan petani tembakau kini terjepit. Kerentanan petani tembakau bukan hanya karena tidak mendapatkan perlindungan pemerintah, tetapi juga digencet oleh industri rokok. Negara menutnyaru, hanyamenjadikan petani tembakau sebagai sapi perahan lewat rokok. Sedangkan problem petanitembakau tak serius dipikirkan dan diselesaikan. Bukan saja tidak bersungguh-sungguhmelindungi dan memberdayakan petani tembakau, pemerintah juga abai terhadap masalah tataniaga tembakau.

Oleh : Tim Redaksi LPMP Plantarum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *