Normal Baru dan Harapan Baru
5 min readWabah Covid-19 (Corona Virus Disease 2019) yang ditetapkan sebagai pandemi global oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (World Health Organization) ternyata telah berimplikasi pada semua sektor, tak terkecuali pada sektor pendidikan. Pandemi Covid-19 yang berhasil menciptakan kompleksitas permasalahan pada sektor pendidikan telah menyebabkan masalah datang secara bertubi-tubi. Hal itu membuat setiap individu berharap agar problematika pendidikan selama pandemi dapat teratasi dengan baik. Lantas, masih adakah secercah harapan yang dapat mendatangkan kegembiraan bagi dunia pendidikan kita?
Realita yang ada telah menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia selama pandemi Covid-19 mengalami penurunan. “Sudah pasti terjadi penurunan kualitas pengetahuan akibat corona. Pembelajaran dilakukan jarak jauh dan faktanya guru, siswa, orang tua, gugup dan gagap menghadapi model pembelajaran seperti itu,” ujar Satriawan saat dihubungi pihak CNNIndonesia.com. Satriawan Salim yang merupakan Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai bahwa metode PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) menyebabkan proses pembelajaran menjadi tidak maksimal, sehingga Ia menyarankan agar Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mulai menyusun kurikulum darurat yang diyakini akan memudahkan proses pembelajaran bagi siswa maupun guru.
Dalam masa darurat Covid-19 yang berdampak terhadap sektor pendidikan, membuat Nadiem Anwar Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Indonesia menerbitkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020. Salah satu pokok penting dalam surat edaran tersebut, yaitu terkait keputusan penetapan pelaksanaan pembelajaran dalam jaringan (daring) atau jarak jauh. “Pembelajaran daring/jarak jauh difokuskan pada peningkatan pemahaman siswa mengenai virus korona dan wabah Covid-19. Adapun aktivitas dan tugas pembelajaran dapat bervariasi antar siswa, sesuai minat dan kondisi masing-masing, termasuk dalam hal kesenjangan akses/fasilitas belajar di rumah. Bukti atau produk aktivitas belajar diberi umpan balik yang bersifat kualitatif dan berguna dari guru, tanpa diharuskan memberi skor/nilai kuantitatif.” Tutur Nadiem yang dilansir dari laman Kemendikbud. Nadiem juga menjelaskan, bahwa guru tidak hanya bertugas untuk memberikan pekerjaan saja kepada muridnya, tetapi juga harus dapat berinteraksi dan berkomunikasi membantu murid dalam mengerjakan tugasnya.
Menanggapi penjelasan Kemendikbud di atas, justru terdapat fakta yang cukup mencengangkan. Pasalnya hasil survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dilakukan pada responden siswa dan guru pada tanggal 13-21 April 2020 di 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota di Indonesia telah menunjukkan bahwa, siswa mendapat tugas yang cukup banyak dan pemberian tugas kerap tanpa interaksi, sehingga belajar di rumah selama pandemi Covid-19 telah membuat siswa menjadi stres dan lelah. Dilansir dari Liputan6.com Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menjelaskan bahwa selama ini pembelajaran jarak jauh yang telah dilakukan banyak terjadi tanpa interaksi sehingga para murid kurang menikmati proses pembelajaran yang sedang dilakukan, bahkan tugas yang telah didapatkan hanya dikerjakan oleh para murid dengan dasar untuk mengejar nilai semata. Hal ini senada dengan yang disampaikan salah seorang mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember (FMIPA Unej), “Menurut saya, tugas-tugas yang diberikan membebani mahasiswa. Karena terkadang terdapat beberapa tenaga pengajar yang tidak memberikan penjelasan namun aktif memberikan banyak tugas. Dan banyak materi yang belum dipahami namun tugasnya banyak sehingga membuat saya dan beberapa teman mahasiswa yang lain kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas tersebut,” tandasnya. Kompleksitas permasalahan di dunia pendidikan telah mencapai puncaknya, karena permasalahan yang terjadi menjalar dari jenjang pendidikan terendah hingga tertinggi.
Pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 juga masih jauh untuk bisa dikatakan cukup efektif. Seperti yang dilansir dari laman Tribunnews pengamat pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Surakarta Prof. Dr. Harun Joko Prayitno M.Hum menyatakan, bahwa fungsi pembelajaran daring tidaklah otentik karena tingkat efektivitas pembelajaran daring masih dirasa kurang sedangkan kualitas, proses, dan otentifitas menjadi acuan penilaian dari tingkat efektivitas tersebut. Kurangnya efektivitas pembelajaran daring juga dirasakan oleh salah satu mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Jember (Faperta Unej), “Bagiku sendiri di semester 4 ini ilmu yang harusnya didapat masih nggak maksimal, praktikumnya online yang cuma bikin laporan doang, atau lihat video kan nggak begitu efektif, apalagi pas tatap muka online yang bisa aja alasan sinyal jelek, atau cuma masuk kelas terus dilanjut tidur kan nggak efektif,” ungkpanya.
Permasalahan dalam pembelajaran daring nyatanya tidak hanya dirasakan oleh para pelajar saja, tetapi para tenaga pengajar pun turut merasakannya. Seperti yang terdengar dari keluhan salah satu tenaga pengajar di SMAN Balung Kabupaten Jember, “Kalau guru ada tambahan keruwetan karena di rumah makin multitasking. Kerjo sambil bimbing anake dewe. Mecah konsentrasi banget. Belum lagi dengerin curhatan wali murid,” ungkapnya. Rupanya ada faktor lain yang dapat menyebabkan kurangnya efektivitas pembelajaran daring, yaitu perihal keterbatasan perangkat dan juga signal. Lebih lanjut tenaga pengajar itu juga mengatakan, “Selalu ada siswa yang tidak punya sarana lengkap entah android atau sinyal atau paketan. Kadang satu android untuk semua anggota keluarga. Misal yang punya adek SD atau SMP.”
Pembelajaran daring yang tidak memberatkan dan berjalan secara efektif tentu telah menjadi harapan bagi seluruh pelajar dan pengajar di Indonesia. Maka di saat ini kita yang dituntut untuk bisa hidup berdampingan dengan virus corona, tentu berharap kepada pemerintah supaya bisa membuat kondisi menjadi tidak semakin mencekam. Pendidikan harus bisa menjaga eksistensinya di era normal baru, maka diperlukan skenario pendidikan yang dapat menjadikannya lebih baik dari sebelumnya.
Membincang mengenai normal baru maka perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dari normal baru tersebut. Dikutip dari Wikipedia new normal merupakan upaya kesiapan untuk beraktivitas di luar rumah seoptimal mungkin, sehingga dapat beradaptasi dalam menjalani perubahan perilaku yang baru. Perkembangan yang terjadi saat ini justru membuat seluruh pihak yang terkait dalam sektor pendidikan semakin merasakan kekhawatiran, karena adanya wacana pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang nantinya bisa diterapkan permanen seusai pandemi Covid-19.
Dilansir dari laman Kompas.com, “Pembelajaran jarak jauh, ini akan menjadi permanen. Bukan pembelajaran jarak jauh pure saja, tapi hybrid model. Adaptasi teknologi itu pasti tidak akan kembali lagi,” kata Nadiem dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR. Kritikan pun mulai bermunculan terkait wacana tersebut. Seperti yang dilansir dari Republika.co.id Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriawan Salim mengatakan bahwa pemerintah saat ini harusnya dapat memutus kesenjangan yang terjadi antara tingkat kualitas pendidikan di kota dan di desa yang tentunya memiliki perbedaan, tetapi mengenai kebutuhan pokok kegiatan belajar dan mengajar saja pemerintah pun masih belum bisa memenuhi secara keseluruhan, sehingga adanya wacana PJJ yang diberlakukan secara permanen untuk saat ini masih dirasa terlalu dini alias prematur.
Mendengar banyaknya keluh kesah yang terjadi pada sektor pendidikan, menuntut pemerintah untuk bisa membuat sebuah kebijakan yang mampu meminimalisir dampak pandemi Covid-19 terhadap sektor pendidikan. Pendidikan yang menjadi kunci utama bagi kemajuan sebuah bangsa, maka harus dijadikan sebagai concern utama dalam kondisi yang mencekik seperti saat ini. Bukan malah membuat wacana yang semakin memusingkan banyak pihak, karena saat ini sudah banyak yang berharap agar pendidikan di era normal baru dapat lebih baik dari sebelumnya. Diharapkan metode pembelajaran yang akan dilaksanakan dapat berjalan secara efektif tanpa membebani seluruh pihak terkait dan pastinya tetap dapat melahirkan SDM (Sumber Daya Manusia) unggul yang dapat menjadi aset penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Maka diperlukan partisipasi dan kerja sama dari semua pihak demi mewujudkan harapan bersama…
Penulis : Safira Ummah
Editor : Erlita Diah Salsahbilla, Lara Putri k, dan Anisatul Ummah